MALUKU - Revitalisasi kearifan lokal dalam
panas pela ini, merupakan upaya kita untuk mentransformasikan nilai-nilai
kearifan lokal, khususnya kesadaran hidup orang basudara dalam menghadapi
dinamika masyarakat yang makin multikultural dewasa ini,ujar Assagaff. Para
Raja diminta agar kembali melakukan revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal
sebagai modal sosial kultural. Demikian disampaikan Gubernur Maluku Said Assagaff dalam sambutan tertulisnya, dibacakan Staf
Ahli Gubernur Maluku Bidang Pembangunan, Ekonomi dan Keuangan Ronny Sam Wolter
Tairas, pada acara Panas Pela Nalahia dan Waraka yang berlangsung di Nalahia.
Pada acara yang juga ditandai
Peresmian Monumen Pela Darah, Assagaff menyampaikan ikatan Pela sebagai identitas masyarakat
Maluku yang khas, sesungguhnya telah menyuguhkan sebuah tingkat keadaban yang
tinggi dalam pertalian sejati hidup orang basudara, sebagaimana ungkapan luhur
katong samua, yaitu potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta rasa, sagu
salempeng dibagi dua. Untuk itu, dirinya meminta para Raja Latupati, untuk
kembali melakukan revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai modal sosial
kultural dalam rangka membangun Maluku yang rukun, religius, damai, sejahtera,
aman, berkualitas dan demonstratis dijiwai semangat siwalima berbasis kepulauan
secara berkelanjutan.
Tak lupa, Gubernur Assagaff
mengajak seluruh masyarakat kedua negeri untuk mengingat pesan para moyang-moyang
dan datuk-datuk, jang langgar dong pung janji. Sei Hari Hatu, Hatu Hari Esepany
(Siapa Balik Batu, Batu Balik Tindis Dia). Kuatkanlah ikatan pela ini wahai
saudara-saudaraku dari Nalahia dan Waraka atau samua basudara pela, gandong,
Wari wa, yang ada di kabupaten ini, seperti janji para leluhur di Nunusaku,
yaitu Nunu Pari Hatu, Hatu Pari Nunu (Persatuan atau persaudaraan itu laksana
pohon beringin yang melingkari batu karang dan batu karang melingkari pohon
beringin Ujar Assagaff mengingatkan.
Sementara itu, Bupati Maluku Tengah
(Malteng) Tuasikal Abua dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Asisten I
bidang Pemerintahan dan Pembangunan Pemkab Malteng Wem Istia mengatakan, panas
pela Nalahia Waraka bukan sekedar ekspresi seromonial acara adat. Lebih dari
itu, acara adat ini memberikan kesan moral kultural dan religius yang sangat
bermakna, yang harus dipertahankan oleh masyarakat, tentang nilai kasih,
menyayanggi, serta adat istiadat sebagai modal sosial dalam mewujudkan
kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama.
Menurutnya, panas pela merupakan
warisan berharga, sekaligus sebagai tanda pengingat kepada generasi penerus,
bahwa kita memiliki warisan identitas budaya yang patut dibanggakan dengan
tidak melupakan asal usul. “Panas pela Nalahia dan Waraka yang baru kembali
digelar setelah lima tahun ini, memungkinkan masyarakat kedua negeri kembali
dipertemukan dalam ritual adat panas pela Risapori Henalatu dan Paisine
Yamalatu” Ungkapnya.
No comments:
Post a Comment